A Better Self Project: Tribute to Ramadhan

Tak terasa bulan yang paling dinantikan setiap tahunnya akan segera datang lagi. Keinginan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik kembali menggebu. Didukung oleh muhasabah diri yang menghasilkan beberapa catatan buruk yang berulang, yang disesalkan setiap malamnya, namun kembali habitually terulang kembali. Dosa yang kadang dianggap permisif untuk dilakukan dengan alasan curhat and telling the truth, padahal jelas Allah sudah melarang perbuatan tersebut hingga menyamakannya dengan memakan bangkai.

Yup, nama dosanya ghibah.

Sudah sejak kuliah S1 saya sadar betul bahwa ghibah bukanlah suatu hal yang baik, yang bahkan bisa memakan pahala baik yang kita lakukan. Pernah dalam suatu level hidup, saya berhasil mengurangi jumlah dosa ini secara drastis karena teman yang sering ajak bicara punya visi yang sama, jadi ketika kami bertemu pun perbincangan kami sangat jauh dari yang namanya gosip.

Namun, waktu berlalu dan kami sudah susah untuk saling bertemu dan mengingatkan seperti dulu, bahkan jarak kami terlalu jauh untuk sekedar ngopi di sore hari. Jujur, saya sangat merindukannya.

Ghibah ini bagai simalakama saat kita berkumpul dengan orang-orang yang menganggap kita tidak seru kalau tidak mau ikut nimbrung dengan perbincangan mereka, dianggap sok suci jika mulai tak ingin menanggapi, dan dianggap membosankan karena itu semua yang berujung tidak akan diajak-ajak lagi. Nggak masalah sih sebenarnya. Sehingga tergoda sekali untuk ikut menimpali, sesekali kan tidak apa-apa bisik nurani yang mulai terkontaminasi, apalagi kita di pihak yang punya informasi lebih banyak, duh rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan.

Padahal, obrolan-obrolan seperti itu justru merendahkan kualitas kita secara tidak langsung. Saya pernah membaca kalau seseorang dinilai dari apa yang dia bicarakan, dia akan dianggap berkualitas jika yang dibicarakan adalah ide-ide, dan sangat rendah jika yang dibicarakan adalah orang, apalagi kejelekan orang dengan dalih itu benar.

Padahal boleh jadi orang kita jelekkan tidak pernah menjelekkan kita. Parahnya, boleh jadi orang kita jelekkan selalu membanggakan kita, atau suatu saat menjadi penolong kita. Astaghfirullah.

Setiap orang punya keburukan, hanya saja kadang keburukan kita tidak nampak di mata kita, atau Allah masih menjaganya, jadi kenapa kita tidak menjaga keburukan orang lain untuk berhenti disebarluaskan?

Ada lagi alasan lain untuk berhenti; Seseorang yang membicarakan orang lain dengan kita, kemungkinan besar akan membicarakan kita dengan orang lain di belakang kita. So, why not stop?

Keuntungannya juga banyak: pahala terjaga, disayang Allah, disayang manusia.

Jadi, tadi tiba-tiba terpikir untuk berhenti dari adiksi ini. Harus ada aksi nyata, dan ada baiknya saya tulis saja. Siapa tau bermanfaat.

Proyeknya sederhana, saya perlu sekitar 12 kertas HVS Putih dan sebuah pena saja untuk mewujudkannya. 12 HVS mewakili 12 bulan dalam satu tahun. Saya akan menuliskan setiap kejelekan yang saya lakukan di sana, termasuk ghibah. Semakin banyak, maka semakin berwarna kertas putih. Semakin terlihat jelas jumlah kejelekan yang harus saya sesalkan.

Simpel kan? Doakan saya berhasil ya!


Comments

Popular posts from this blog

Ngopi Penuh Sensasi

5 Langkah Mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Banda Aceh

Hari Pertama Kerja