Posts

Showing posts from December, 2015

#CURHAT: Reverse Culture SHOCK!!!

Akhir-akhir ini kehidupan saya tak jauh-jauh dari reuni kecil-kecilan. Saya kembali bertemu teman-teman yang telah lama menanti kepulangan saya (mungkin sebenarnya menanti oleh-olehnya ;D) secara sengaja maupun tidak. Ada yang saya sengaja datang ke rumahnya karena sekaligus melihat anaknya yang baru lahir (teman-teman udah pada punya generasi penerus, bahkan ada yg udah dua), sengaja berjanji untuk bertemu di tempat-tempat nongkrong, sengaja bertemu saya di Blang Krueng, sengaja menyapa di sosial media, atau secara tidak sengaja bertemu di masjid, kondangan (yang semakin panjang saja listnya), hingga pameran. Sebelum kalian melanjutkan bacaan, saya mau disclaimer sikit ya, postingan kali ini agak panjang dan mengandung 59,90% curhat. So, silakan skip bagi yang nggak penasaran. :D Beriringan dengan pertemuan-pertemuan itu, pertanyaan-pertanyaan modus (modus dalam arti matematika) adalah: #Enak gak di sana? #Pasti susah ya adaptasi lagi?apa aja yg harus disesuaikan (lagi)? #Kapan

Kontroversi Profesi

Tiba-tiba saya dapat ide buat nulis opini tentang sebuah profesi karena baru saja di salah satu akun sosial media saya, seorang teman salah mengartikan komentar saya (yang memang sangat besar peluang terjadinya di dunia maya). Akhirnya saya menjelaskan duduk perkaranya supaya tidak salah maksud. Anyway, sebenarnya penjelasan kita kadang juga tidak terlalu penting sih, soalnya dunia maya itu semu, nggak nyata, orang kadang berkomentar karena hanya ingin didengar tanpa peduli bagaimana kejadian sebenarnya atau mau memahaminya, so kalau kalian bisa cuek sebenarnya hidup akan lebih tenang. Okay, back to topic. Kontroversi profesi yang saya maksudkan di sini adalah mengenai pemilihan sebuah pekerjaan yang kita inginkan atau in worst case scenario yang harus kita lakukan. Beruntunglah kalian yang punya kesempatan, kemudahan dan kelebihan untuk bekerja di bidang yang kalian sukai. Tentang profesi, saya rasa saya bukanlah orang yang mendiskreditkan profesi tertentu karena setiap orang puny

Ada Apa Dengan Cinta

Ada Apa Dengan Cinta Bagi penikmat drama Indonesia kelahiran 90-an pasti sudah tidak asing lagi dengan empat kata di atas, sebuah judul film yang diperankan oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Menceritakan kisah Cinta yang akhirnya memutuskan mengejar Rangga ke bandara, mengutarakan seluruh rasa yang telah berubah dari benci menjadi suka, hingga bersedia menunggu meski berpuluh purnama harus dihitungnya. Ada apa dengan cintaku? Aku pun tak mampu menjawabnya. Dalam usia seperempat abadku, setiap orang yang kutemui rasanya semakin penasaran saja dengannya. Belum lagi yang berusaha memaksakan saran mereka tanpa mencoba mengerti bagaimana keadaan diri ini atau membiarkanku mencari jawabnya sendiri, dan itu seringkali datang dari orang-orang terdekat yang katanya peduli padaku. Tak ada kisah seperti Rangga dan Cinta yang bisa kuceritakan pada mereka, karena ini bukan drama melainkan kisah nyata yang lebih banyak tantangannya dan tak selesai dalam satu atau dua jam saja. Alurnya lebih

Ketidakmungkinan yang Aku Semogakan

Tak pernah terlintas dalam pikiran sehatku sebelumnya bahwa aku akan berada dalam situasi seperti ini. Mungkin, jika ada sebuah ungkapan kekinian yang cocok untuk ini adalah: ketidakmungkinan yang aku semogakan. Dulu, saat mendengar kalimat itu, aku merasa kata-kata apa-apaan itu, bagaimana mungkin menyemogakan sesuatu yang kita pun yakin itu tak mungkin. Ternyata sepotong ungkapan itu kini terasa penuh makna dan benar-benar cocok. Kalian tau kisah Nabi Muhammad saw. dan pamannya Abu Thalib? Abu Thalib adalah paman Nabi yang cukup dekat dengan beliau, selalu mendukung ajaran Rasul, selalu menjadi orang-orang terdepan dalam mempercayai ucapan keponakannya itu, selalu membantu dan sayang sekali kepada baginda Rasulullah. Namun, ternyata kasih sayang yang timbal balik itu tidak bisa mengubah keyakinan Abu Thalib, beliau tetap saja mempertahankan ajaran nenek moyang bangsa Jahiliyah untuk dianutnya. Berjuta kali Rasul berdoa kepada Allah agar Abu Thalib dibukakan pintu hatinya untuk mener

Maha Mendengar

Dulunya aku memang pernah bermimpi bahwa sebelum melanjutkan studi ke luar negeri, aku ingin menjadi agen Islam yang baik, bahkan jika bisa aku mampu menjadi inspirasi tersendiri bagi non-muslim sehingga mereka mempunyai ketertarikan terhadap Islam, atau merubah persepsi yang dulunya skeptis tentang Islam, lebih beruntung lagi jika nantinya ada yang kembali fitrah dalam keislaman. Sebuah cita-cita yang pernah menjadi list panjang doa-doaku selepas shalat namun kemudian menguap begitu saja. Aku merasa saat menginjakkan kaki di sana, keinginanku agak sedikit susah tercapai, apalagi dengan berbagai macam adaptasi yang harus kusesuaikan hingga lama-kelamaan cita-cita mulia itu terkubur oleh kesibukan-kesibukan dunia. Aku tak lagi benar-benar berusaha membuat diri ini sedemikian rupa sehingga bisa menjadi contoh teladan yang baik, menjaga sikap, dan seterusnya. Aku hanya kemudian menjadi diri sendiri, diri yang kadang cukup terbuka dengan perubahan meski tetap kujaga garis batas tentang ha

Aku pada-Mu

Saat ini tiada yang paling mengerti diri ini selain Ilahi rabbii... Yang telah menuliskan kisah hidup ini dengan penuh misteri lalu menyingkap setiap tabirnya satu-satu seiring waktu... Keluarga, teman, bahkan terkadang diri sendiri pun tak tahu sebenarnya apa yang kuinginkan... Orang-orang berusaha memberikan sarannya sesuai pengalaman dan pemahaman mereka dengan dalih peduli, sayang, dan inginku bahagia menurut versi mereka... Tapi, seakan saran-saran mereka itu malah membuatku semakin bingung dan terkadang bertanya sebenarnya apa yang kuinginkan, apa yang kubutuhkan, dan hidup siapa ini? Terkadang seseorang memberikanmu saran hanya karena mereka merasa peduli, padahal nyatanya mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka tidak benar-benar demikian, terkadang saran disampaikan hanya karena mereka ingin didengarkan dan merasa sudah berpengalaman... Bukan ku tak menghargai semua itu, tapi bukankah ini hidupku, keputusan akhir di tanganku, kebahagiaan itu ada saat aku benar-benar meras