#CURHAT: Reverse Culture SHOCK!!!

Akhir-akhir ini kehidupan saya tak jauh-jauh dari reuni kecil-kecilan. Saya kembali bertemu teman-teman yang telah lama menanti kepulangan saya (mungkin sebenarnya menanti oleh-olehnya ;D) secara sengaja maupun tidak. Ada yang saya sengaja datang ke rumahnya karena sekaligus melihat anaknya yang baru lahir (teman-teman udah pada punya generasi penerus, bahkan ada yg udah dua), sengaja berjanji untuk bertemu di tempat-tempat nongkrong, sengaja bertemu saya di Blang Krueng, sengaja menyapa di sosial media, atau secara tidak sengaja bertemu di masjid, kondangan (yang semakin panjang saja listnya), hingga pameran.

Sebelum kalian melanjutkan bacaan, saya mau disclaimer sikit ya, postingan kali ini agak panjang dan mengandung 59,90% curhat. So, silakan skip bagi yang nggak penasaran. :D

Beriringan dengan pertemuan-pertemuan itu, pertanyaan-pertanyaan modus (modus dalam arti matematika) adalah:
#Enak gak di sana?
#Pasti susah ya adaptasi lagi?apa aja yg harus disesuaikan (lagi)?
#Kapan balik ke sana?
#Kapan sebar undangan?

Jawaban saya pun beragam, namun tetap sama saja maksudnya. Tentu banyak sekali yang saya harus sesuaikan lagi karena saya sudah terlalu menikmati keteraturan negara pertama dan harus kembali ke negara ketiga. Tapi, ternyata bukan hal seperti teknologi (kecuali koneksi internet yg sangat menjadi masalah), cuaca, mati lampu, panas, macet, dan hal-hal "wajar" lainnya yang membuat saya mengalami reverse culture shock sampai harus struggling sampai googling bagaimana cara menghadapinya. Lantas apa? Tak lain dan tak bukan adalah "budaya" orang kita. Budaya dalam tanda kutip yang saya maksudkan adalah kebiasaan yang sering terjadi dalam masyarakat. Mulai dari kurangnya budaya antri, terang-terangannya berbuat curang di salah satu instansi pemerintahan seakan tulisan-tulisan yang terpampang nyata di kantor itu dan tak satu jumlahnya hanya pajangan belaka dan hukum tak lagi punya taringnya, hingga rasa rindu saya pada Manchester tentang mudahnya seseorang mengucap terimakasih dan maaf bahkan saat diperlukan. Dan satu lagi, tentang perkara nikah.

Tentang menikah, apalagi saya perempuan, saya seringkali "ditakuti" dengan mantra sakti bahwa jika saya tetap bersikeras melanjutkan kuliah lagi tanpa menikah terlebih dahulu, maka jodoh saya sudah dapat dipastikan tidak ada, kalaupun ada ya sisa-sisa peradaban, atau anak di bawah umur (saya) a.k.a brondong manis. Tak cukup teori itu, contohnya pun ada, sebut saja si A, ibu B, tante C, hingga kak Z. Segala macam rupa ada.
Lantas, saya selalu bercanda bahwa apakah saya harus pasang iklan di koran serambi indonesia untuk mencari jodoh? Karena pendidikan saya sepertinya kali ini terhalang jodoh. Sambil saya menjelaskan bahwa memang saya tidak dekat dengan siapa-siapa lalu siapa yang harus saya ajak menikah? Dan bukan pula saya terlalu menutup diri. Saya, bahkan sudah lebih dari batas saya untuk membuka diri. Tapi perkara hati bukanlah hal materi yang gampang dibeli. Oleh sebab itulah saya sedikit korslet kangen budaya di luar sana bahwa menikah tidak harus di usia muda.

Jadi, ketika ditanya kapan sebar undangan, saya cuma bisa senyum-senyum sok manis gitu (saya belum yakin senyum saya manis sebelum ia bisa menyaingi partikel gula).

Soal nikah lagi (gak abis-abis emang), ada juga yang setuju dengan saya. Alasan mereka kurang lebih sama seperti saya. Sama seperti tak menikah karna ketuaan, saya juga bisa jadi tak jadi sekolah karena kelamaan nunggu jodoh. Saya nggak pernah tau kapan jodoh saya datang, dimana saya bertemu, atau pertanyaan yang paling misteri, siapa dia. Saya ingin kuliah selagi saya memang masih termotivasi untuk mengejar cita-cita bukan tahta (pangkat dan golongan), selagi saya muda, selagi saya cukup bertenaga. Jika memang jodoh saya tiba sekarang, saya tidak masalah jika harus menikah (sok yakin sikit jawabnya) lalu kuliah. Tapi kalau tidak sekarang? Saya harus kerja dan menetap di Banda Aceh? Tidak, itu bukan saya (setidaknya bukan keinginan saya untuk saat ini meski nanti kadang saya harus begini). Saya sama sekali tidak ada niat untuk menunda pernikahan. Jika ada pihak yang harus disalahkan dalam hal ini, maka salahkan jodoh saya saja, abang itu, yang (menurut kalian) lama kali muncul. Hahaha maaf ya kamu, siapapun kamu... Becanda sikit!

Maka dari itu, apa salahnya saya yang jomblo ini memiliki mimpi kuliah lagi. Mimpi yang masih bisa saya rencanakan dan usahakan dengan baik tanpa butuh pasangan meski segala keputusan adalah Acc Allah. Soal menikah, saya tidak bisa mewujudkan tanpa pasangan. Yang saya bisa lakukan hanyalah berdoa dan memperbaiki diri saja. Kan nggak mungkin saya nikah sama jembatan, sama menara, sama piaraan kayak orang-orang aneh di luar sana? -.-"

Lagipula saya ingin menikah bukan karena rasa takut saya "tidak laku" lagi nanti, tapi karena saya ingin menyempurnakan agama saya, saya ingin mencari ridha-Nya. Toh tidak ada yang salah dengan ke-single-an ini selama saya tidak pacaran dan bisa menahan godaan, kan? Yang bahaya mah pacaran jalan nikah ntah kapan. Seharusnya mereka yang begitu yang harusnya terus diberondong pertanyaan kapan nikah!!! *emosi juga sikit ni*

Satu pertanyaan lagi yang belum terbahas adalah "kapan balik ke sana lagi?" My favourite question banget-banget bangeeet. Memang sih mereka nanyainnya karena tidak tahu masa studi saya sudah selesai karena rasanya terlalu cepat, tapiiiii yang bikin saya hepi sambil senyum-senyum dalam hati  (entah gimana bentuk senyum dalam hati tu) adalah saya mengaminkan setiap pertanyaan dan jawaban saya tentang hal tersebut sebagai doa bahwa Allah akan memudahkan langkah saya ke sana (lagi). Apakah itu untuk wisuda ataupun lanjut estiga ataupun bekerja ataupun hanya wisata. Siapa tahu kan salah satu atau salah dua atau semua doanya terijabah kan ya? ^^
Jadi, yang mau bikin saya hepi, sering-sering aja nanya pertanyaan yang ini. Kenapa harus bikin saya hepi? Karena menyenangkan hati sesama insyaAllah bernilai kebaikan. Karena saat kita membahagiakan seseorang, akan tiba saatnya cepat atau lambat kita juga akan bahagia.

Oya, FYI mana tau nanti berguna buat kawan-kawan yang suffering seperti saya, salah satu terapi menghadapi reverse culture shock adalah dengan menulis, makanya saya nulis (atau disebut curcol juga boleh) di blog ini. Terapi lainnya silakan cari sendiri ya, kan beda-beda reaksi seseorang terhadap suatu terapi, ada yang cocok ada yang gak mempan. Selamat mencari ilmu, selamat mencoba!



Comments

Popular posts from this blog

Ngopi Penuh Sensasi

5 Langkah Mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Banda Aceh

Hari Pertama Kerja