Tentang Pulang

Saat mengingat pulang, terkadang aku sudah tak sabar lagi menukarkan kertas A4 bertuliskan detil kepulanganku dengan boarding pass di konter maskapai berwarna ungu itu.
Mungkin saja aku sudah mulai jengah dengan kehidupan negeri dongeng di sini, rasanya segalanya serba indah, mudah, dan nyaman. Tapi jauh di dalam hati ini, ada kehampaan yang terasa, tak lengkap tanpa orang tua, dan tanpa cinta. Mungkin itu alasanku kenapa ingin pulang.

Sebaliknya, ada sisi lain dalam hati ini yang tak ingin kembali. Aku belum siap meninggalkan negara ini, masih banyak hal yang ingin kulakukan di sini, aku belum selesai dengan kota ini. Ditambah lagi rasa khawatir yang akhir-akhir ini tak pernah lagi pergi dan semakin bertambah saja. Khawatir tentang bagaimana aku harus beradaptasi lagi dengan reverse culture shock seperti cuaca, transportasi, currency, listrik, gempa, internet, tayangan televisi, politik negeri dan masih banyak lagi. Cemasku kian bertambah saat aku memikirkan tentang gelar master degree yang insyaAllah akan segera kudapati. Aku mau berbuat apa dengan gelar ini? Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Aku harus kerja dimana? Karena jujur setelah s1 dulu aku tak pernah punya pengalaman kerja yang berarti, karena jujur aku melanjutkan kuliah dengan beasiswa salah satunya agar aku tak lagi menjadi sarjana yang masih diberi jajan bulanan oleh orang tua, karena jujur jikalau harus menjadi dosen aku ingin punya pengalaman kerja lebih dulu, tapi dimana?? Mungkin jika aku di sini, aku...ah sudahlah aku tak boleh berandai-andai karena aku sudah memutuskan untuk pulang demi mamak.

Khawatir ini makin menjadi-jadi saat topik tentang pasangan hidup tak juga kunjung reda, baik dari orang-orang sekitar maupun dari dalam diri. Ya, umurku sudah seperempat abad lebih dan aku masih saja literally sendiri. Jika aku pulang, aku harus bagaimana, memulai dari mana, seberapa lebar lagi senyuman miris yang harus kuberikan saat pertanyaan sadis itu muncul, dan seberapa luas lagikah kebun yang akan kuterima jika aku masih harus bersabar? *Ureung saba luah lampoh*

Tidak, aku tidak mengutuk takdir. Karena aku percaya dan akan selalu sabar dengan janji Tuhan. Hanya saja pertanyaan berulang-ulang yang aku sendiri tak tau jawabannya cukup mengusik ketenangan pikiran dan menggoyahkan iman.

Pulang kali ini mungkin memang penuh teka-teki. Tapi aku selalu yakin intervensi Ilahi akan membuat kekhawatiranku menjadi tidak berarti. Aku hanya perlu menunggu sedikit lagi dan berdoa lebih banyak lagi.

Comments

  1. Alih-alih orang iseng bertanya kapan kawin, seorang kawan yang udh kangen ingin tanya.. Kapan pulang? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha..insyaAllah sebelum dedek bayi lahir ;-)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ngopi Penuh Sensasi

5 Langkah Mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Banda Aceh

Hari Pertama Kerja