Sabang, Part III: February 2016

Sungguh kali ini saya sudah seperti travel agent yang bolak balik bawa turis ke Sabang. Gimana nggak, selama tiga bulan berturut-turut saya ke Sabang terus. Untuk urusan minta izin sama mamak saja saya udah lebih berhati-hati. Mencari-cari alasan yang pas, menunggu-nunggu waktu yang cocok. Biar di-acc lagi.

Sebenarnya saya pribadi pun sudah eneg ke Sabang walaupun belum sempat snorkeling. Setidaknya nggak secepat ini ke Sabang lagi. Tapi, demi kawan ya kan. Asal jangan terjadi saya demi kawan tapi kawan demikian.

Agenda ke Sabang ketiga ini adalah liburan liburan dan liburan sebenar-benarnya liburan. Tidak ada yang menjemput di pelabuhan seperti pertama kali saya ke Sabang atau tidak ada cerita tinggal bawa diri saja sementara segalanya sudah tersedia seperti kunjungan kedua saya ke Sabang.

Ke Sabang yang ketiga ini saya membawa motor, menyusun itinerary dan budget. Hingga nasib anak keuangan dipercayakan jadi bendahara lapangan. Alamak-oi!

Jadi ceritanya ada seseorang yang berhasil saya racuni pikirannya bukan dengan sianida tapi dengan foto-foto Sabang. Singkat cerita setelah teman saya itu mendapat izin cuti, akhirnya saya pun jadi harus ke Sabang lagi.

Awalnya kalau boleh jujur saya sedikit panik karena saya tidak punya banyak referensi tentang Sabang dan belum punya teman lain yang ikutan ke Sabang. Tidak mungkin jika hanya kami berdua saja yang ke sana. Kenapa tidak mungkin? Karena saya perempuan dan dia lelaki. Lalu? Lalu mamak pasti gak kasih izin. Bohong aja keles? No way, saya ga mau main-main apalagi menyebrangi laut. Syereeem. Lagian saya susah menghafal jalan, jadinya takut nyasar juga sih.

Tapi memang Allah Maha Pengasih lagi Penyayang, niat baik saya berjalan dengan lancar kemudian. Berbekal cuma nanya di awal, akhirnya teman saya yang sudah biasa membawa tamu ke Sabang mau ikutan ke Sabang juga. Namanya Isan, orangnya baik dan punya pengetahuan yang mumpuni, cocok lah jadi guide. Kalau kalian perlu jasa guide di Aceh, cari saja Sahabat Backpacker di FB dan silakan berkomunikasi dengan Isan (San, udah aku endorse ya!) Dan beberapa hari sebelum keberangkatan, teman saya satunya lagi pun konfirmasi ikut menyebrang ke Sabang, Khaira namanya.

Lega sekali rasanya karena urusan izin sudah mudah. Urusan penginapan pun sudah oke karena Isan sudah punya link meski sempat sangat rempong beberapa hari sebelumnya soal penentuan kamar. Hahaha. Cukup kita aja yang tau ya, San!

Mendekati hari H, Isan bilang kalau tanggal 8 kapal tidak berangkat karena cuaca sedang galau. Saya yang sebenarnya agak khawatir karena keberangkatan kami tanggal 10 mencoba sok tenang dengan melontarkan candaan mungkin saja nakhoda kapalnya sedang merayakan imlek makanya tidak berlayar. Padahal di samping khawatir kapal tidak berangkat lagi esoknya, saya juga khawatir kalaupun kapal berangkat tanggal 10, pasti antrian bakalan membludak, susah membawa kendaraan. Meski demikian, saya diam saja dan tidak memberitahu teman saya yang sudah semangat '4567 ke Sabang seraya berdoa semoga cuaca kembali tenang seperti sedia kala.

Alhamdulillah doa saya lumayan terkabul, meski cuaca masih sendu, tanggal 9 kapal berlayar. Jadinya tanggal 10 tidak terlalu banyak antrian kendaraan. Mungkin itu juga beginner's luck. Keberuntungannya abang bule Jepang yang pertama ke Sabang.

Sepanjang jalan saya berdoa agar cuaca cerah, tapi bahkan hingga di Sabang pun kami masih diberi rahmat hujan rintik-rintik. Syahdu juga sih hujan-hujan keliling Sabang, suasananya beda. Tapi tetap harus hati-hati karena jalanan terjal dan licin.

Setelah berfoto di spot mainstream jalan baru, kami menuju Anoi Itam Resort dan menikmati indahnya pantai Anoi Itam. Biar nggak apa kali, kami pesan snack di restoran resort biar apa sikit. Hahaha. Hujan masih saja tak kunjung reda. Menjelang zuhur, kami pindah lapak untuk lunch cantik di Resto Kencana baru kemudian check in di Montana.

Sebenarnya badan sudah lelah sekali begitu tiba di hotel, tapi masa sih jalan-jalan ke Sabang ceritanya cuma di kamar hotel. Akhirnya setelah shalat, kami lanjut lagi mutar-mutar kota Sabang yang masih digantung mendung. Sabang Hills, Sumur Tiga, hingga benteng Jepang pun sempat kami jelajahi sore itu. Saat malam tiba, kami mencoba mie jalak yang terkenal itu. Porsinya sangat besar sehingga saya nggak habis. Rasanya pun bukan selera lidah saya dan teman-teman meskipun cuma saya yang bersisa sementara yang lain habis juga karena kelaparan kayaknya. Padahal udah makan pizza tadi sore di Freddies. Hmm.. Selanjutnya kami ngopi di Sagoe. Di sana saya juga bertemu teman saya yang kerja di Sabang, Riza namanya. Banyaklah bertukar cerita dengan Riza, terutama soal nyambung S3 dan nikahnya Nanda. Ngomong-ngomong soal nikah Nanda, saya jadi ingat belum nulis pengalaman jadi bridesmaid nya Nanda.

Karena besoknya mau snorkeling, kami tidak boleh lama-lama di warkop. Kartu remi pun tidak ada, jadinya balik ke hotel dan tidur. Eh mandi dan shalat dulu baru tidur. Tapi ternyata kamar sebelah heboh banget cerita entah sampai jam berapa, suaranya kedengar sampai kamar saya dan Khaira. Khaira yang memang sudah mengantuk langsung tidur, saya? Bolak kanan balik kiri nggak bisa tidur. Bukan karena kamar sebelah, tapi karena tempat tidurnya beda dengan biasa, jadi saya harus adaptasi lagi.

Besok paginya setelah sarapan kami siap snorkeling. Namun ternyata hujan menahan kami di teras hotel. Teman saya Ayu dan dua adiknya yang juga ke Sabang pun sama, ikut menunggu juga meski mereka bisa saja pergi duluan karena menyewa becak.

Tak sabar hujan yang sebentar berhenti lalu turun lagi akhirnya kami membulatkan tekad menerobos hujan. Saya yang bermodalkan baju hujan tipis pun tak gentar. Akhirnya berangkatlah kami semua ke nol kilometer. Saya belum pernah mengendarai motor dengan rute agak terjal begitu. Tapi bismillah, saya mencoba dan lulus! Yeay, udah bisa pulang kampung pake motor juga nih sepertinya. Kebetulan jalan ke kampung saya juga berliku dan patah seperti jalan ke arah nol kilometer. Sepanjang jalan saya yang pada awalnya bernyanyi-nyanyi kecil sambil membonceng Khaira di belakang saya akhirnya mengganti nyanyian dengan lantunan ayat-ayat al-Quran yang saya hafal ketika jalan semakin berkelok. Takut? Nggak. Saya juga heran kenapa mood saya kepingin muraja'ah hafalan. Mungkin karena alamnya cosy bikin adem hati jadi bawaannya ingat ayat-ayat suci, #eaaaak.

Dalam perjalanan kami berjumpa monyet-monyet kecil yang memang sering nangkring di sana. Sempat saya dadah2 eh malah ngejar yang bikin saya spontan teriak karena khawatir monyetnya loncat ke motor saya.

Tiba di nol kilometer, hal yang pertama saya cari adalah toilet. Kuyup kehujanan bikin kebelet pipis mamen. Baru setelahnya ke tugu nol kilometer. Cuma foto sebentar lalu jalan lagi soalnya lumayan rame pengunjungnya. Padahal nggak wiken juga. Tau deh. Mungkin tau saya mau berkunjung kesana jadi pada ngekor, mau curi-curi foto bareng saya kali. Hahaha

Semakin dekat ke Iboih cuaca semakin cerah, lagi-lagi saya menyebutnya beginner's luck. Ah mungkin juga Allah mengabulkan doa tahajud saya semalam, tahajud yang tumben-tumbenan, yang nggak sengaja karena terbangun lebih cepat karena tidur nggak nyenyak. Setelah tukar pakaian dan selesai ngambil alat snorkeling, saya dan teman-teman menyebrang ke Pulau Rubiah menaiki kapal yang bisa liat ikan-ikan lucu pake kaca gitu. Tapi mood saya terlanjur nggak enak karena satu dan lain hal. Akhirnya saya kurang menikmati.

Mood saya kembali setelah saya turun ke laut. Snorkeling untuk pertama kalinya benar-benar membuat saya bahagia. Meski pada awalnya saya kagok pake kaki bebek, saya takut nggak bisa ngapung padahal ada life vest, saya takut kebawa arus, saya khawatir nggak bisa nafas, dan seterusnya. Terimakasih Isan udah "maksa" biar kami berani. Hahaha. Dan subhanallaah ikan-ikan nya cantik sekali, airnya biru turqoise, dan saya mengapung. Fabiayyi aalaa irabbika tatamaaraa..

Setelah puas liat ikan, berenang ala-ala orang ga pande berenang, dan jadi korban bully bule Jepang yg jago berenang dan korban kamera go pro kawe nya Isan, kami kembali ke bibir pantai. Laperrr..

Makanan yang kami pesan adalah sate Gurita yang kata Isan sih enak di sini(mandum kata Isan) dan mie rebus. Setelah perut terganjal sementara, kami turun lagi ke air. Kali ini saya juga tak lepas dari bully-an mereka. Sampai saya nggak sadarkan diri eh salah maksudnya nggak sadar kalau goggles nya saya ilang jatuh di laut. Baru sadar beberapa menit kemudian.

Entah kenapa kali ini saya nggak panik, padahal mayan juga tu biaya ganti ruginya. Mungkin karena punya feeling bakalan ketemu lagi si kacamata selam itu. Akhirnya jadinya saya merepotkan abang Jepang dan Isan untuk mencari goggles saya. Untunglah tak lama kemudian abang Jepang menemukannya dan syukurnya lagi dia bisa berenang jadi bisa ngambil kacamata yang udah tergeletak di dasar laut sedalam 3 meter itu. Terimakasiih abang Jepang!

Karena sudah cukup sore, kami menyudahi snorkeling. Pas mau balik, Isan dapat kenang-kenangan pula dari Pulau Rubiah, kepeleset, jatuh, dan menyisakan bekas luka.

Selesai mandi dan ganti baju kami balik ke arah kota namun sebelumnya singgah di The Pade Dive Resort. Isan punya kenalan di sana. Resortnya sunyi banget, cocok lah buat yang mau diving lalu istirahat. Atau yang mau lari dari kenyataan di Banda Aceh cukup jauh lah kalo ke sini.

Malamnya kami makan di Biyan. Letaknya di kota juga. Niatnya sih nyari ikan bakar. Rupanya gak ada yang cocok. Akhirnya kami pesan seafood yang lain. Setelah makan dan saat bayar barulah kami menyadari kalau udang goreng tepungnya 40ribu rupiah cuma 4 ekor. Luar biasaaa...

Cukup lama kami menunggu hujan reda di Biyan, waktu ini kami manfaatkan untuk melihat-lihat foto selama snorkeling tadi. Dan kebanyakan foto saya cukup cocok untuk dijadikan bahan ledekan. Jadilah malam itu saya pasrah saja lah. Aku aku aja yang kena ya kan. Hahaha

Besok paginya kami berangkat ke pelabuhan setelah subuh. Antrian kendaraan sudah lumayan berjejer. Syukurlah masih ada tempat buat kami dan yang paling penting cuacanya cerah.

Sampai di Banda Aceh saya masih bisa ajak bule Jepang jalan-jalan lagi bersama Isan. Sampai di Banda pula saya sadar kalau kulit saya sudah gosong sekali. Mungkin kalau di internet banyak beredar kalimat "if you can handle my face at Fajr a.k.a muka bangun tidur, I'll know it's true love" maka saya mengganti kata2 at Fajr dengan after snorkeling a.k.a muka gosong tak tertolong.

Demikian kisah saya ke Sabang untuk yang ketiga kalinya. Saya nggak tau apakah Maret ini saya harus ke Sabang lagi untuk keempat kalinya. Wallahu'alam.

Comments

  1. gini lah.. blog diisi cerita, jangan diisi kenangan aja, #eh..
    hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha.. siap kak Yun.. nantikan cerita berikutnya ;)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ngopi Penuh Sensasi

5 Langkah Mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Banda Aceh

Hari Pertama Kerja