Pertanyaan paling Menyakitkan

Mungkin ketika jomblo ngenes ditanya tentang apa pertanyaan paling menyakitkan, jawabannya adalah 'kapan kawin?'. Meskipun saya jomblo dan mungkin dianggap ngenes, pertanyaan kapan kawin hanya sejenis sh*tty question yang tidak menyakitkan tapi hanya sampai pada level menyebalkan.

Lalu, bagaimanakah pertanyaan paling menyakitkan bagi saya? Hmm, saya tidak punya kriteria khusus selain ketika pertanyaan itu terlontar, ada bagian hati saya yang serasa ditusuk kata-kata tajam lidah tak bertulang, dan dunia sekeliling saya dan dia seakan diam sejenak.

Ada dua pertanyaan paling menyakitkan yang masih saya ingat sampai sekarang meski kejadiannya sudah lama.

Pertama, pertanyaan 12 tahun lalu dari seseorang yang baru mengenal saya satu dua hari. Lantas di suatu malam gelap yang hanya bercahayakan lilin karena listrik padam, sebab tsunami baru saja beberapa hari menghampiri, pada malam itu dia bertanya pada saya setelah melihat saya begitu ceria dan kadang tertawa sesekali menanggapi candaan. Begini kira-kira pertanyaannya:

"Aku heran lihat kau, Na! Kenapa masih bisa ketawa-ketawa meski kau tau Ayah kau sudah tiada?"

Kami yang memang sedang bersantai malam itu bersama saudara yang lain langsung merasa awkward. Saya tidak tau ingin menjawab apa. Tak tahukah dia saya sedang dirundung duka yang begitu dalam karena kehilangan orang yang paling dekat dengan saya? Tak tahukah dia bahwa saya bersedih bukan untuk saya pamerkan kepada sesiapa lantas hanya ingin bercerita sesunggukan pada yang Maha Kuasa? Tak tahukah dia, saya tumbuh besar dengan kemampuan menyembunyikan kesedihan? Sungguh, malam itu tak akan saya lupakan. Sakit. Seseorang yang hanya mengenal saya beberapa hari karena tsunami langsung menghakimi dengan lidahnya yang tak punya hati.

Kedua, saat saya mengikuti seleksi beasiswa 3 tahun lalu. Salah seorang interviewer menanyakan pendapat saya tentang masalah terbesar perekonomian Aceh. Saya lalu menjelaskan apapun yang saya ketahui. Namun, beliau menegaskan bahwa kemiskinan lah masalah utama. Tapi dengan contoh yang sangat kejam.

"Kamu tau kenapa kemiskinan masalah terbesar? Kamu ambil beasiswa ini kenapa?"

Saya menjawab motivasi beasiswa bagi saya. Tapi ternyata pertanyaan itu adalah retoris yang tak butuh jawaban, pertanyaan yang lalu dijawab lagi si penanya,

"Karena kamu miskin!"

Sontak interviewers lainnya langsung menyadari perubahan atmosfir di dalam ruangan itu dan ada yang kemudian berusaha menenangkan saya dengan cara mereka sendiri.

Saya tidak percaya seseorang berpendidikan tinggi tega menanyakan contoh sekejam itu. Bagi saya jelas saya tidak miskin menurut teori yang pernah saya pelajari di bangku kuliah, saya tidak miskin dan kalaupun saya miskin saya tidak mau bermental miskin.

Hanya karena saya mencari beasiswa, saya dicap miskin. Lalu bagaimana dengan Gita Gutawa, Tasya Kamila?

Lalu kemudian bukankah Aceh itu kaya kalau bisa menyalurkan beasiswa? Dimananya Aceh miskin? Sigasien-gasien tanyoe awak Aceh, hana lage awak pulo blah deh.

Saya saat itu tidak bisa menjawab demikian karena pikiran saya hanya berfokus pada tak sangkanya saya beliau berkata demikian. Dan posisi saya adalah pelamar beasiswa, bukan debater pada saat itu.

Setelah saya menulis dua contoh di atas, saya memikirkan satu kesimpulan bahwa mungkin saya terluka dengan pertanyaan yang merendahkan 'pride' saya karena penanya hanyalah stranger yang sok tau luar biasa.

Jadi, kapan kawin? #eh

Comments

Popular posts from this blog

Ngopi Penuh Sensasi

5 Langkah Mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Banda Aceh

Hari Pertama Kerja